Emansipasi Wanita Masyarakat Digital

0
624

Pada 21 April setiap tahun, rakyat Indonesia mengenang wanita pejuang emansipasi, Raden Adjeng Kartini. Arti emansipasi—dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI)— pembebasan dari perbudakan, serta persamaan hak dalam berbagai aspek kehidupan. Dalam konteks sejarah, RA. Kartini, saat itu, memperjuangkan kesamaan hak pada wanita.

Dalam perspektif emansipasi wanita, tujuan tersebut sudah tercapai sampai saat ini. Kita sudah melihat banyak wanita dalam berbagai profesi. Profesi guru, banyak juga wanita. Profesi dokter, juga banyak wanita. Profesi manajer, juga banyak wanita sebagai manajer. Dalam politik pun, juga sudah banyak wanita terlibat di dalamnya.

Masyarakat sekarang, masyarakat digital. Pekerjaan juga dominan secara digital. Tarnsaksi jual beli, banyak digital. Transportasi juga digital. Bahkan tukang pijat pun sudah ada yang berproses transaksi digital. Kemudian, bagaimanakah emansipasi dalam konteks peradaban masyarakat digital?

Berdasarkan data dari Good News From Indonesia (GNFI), pada Mei 2020 saja, jumlah pengguna media sosial justru didominasi wanita. Jumlah pengguna wanita 51 persen sedangkan pengguna pria 49 persen. Ini menunjukkan bahwa wanita sudah beremansipasi dalam aspek kehidupan masyarakat digital yang lebih tinggi dibanding pria.

Jika kita amati, gerakan penggunaan komunikasi digital sangat drastis ketika pandemik, Covid-19. Kondisi pandemic memaksa semua kerja dari rumah (Work from Home/ WFH). Semua siswa dan mahasiswa, termasuk guru dan dosen, juga bekerja secara WFH. Saat itulah, para ibu, berperan aktif mengontrol putra putrinya di rumah.

Pandemik itulah yang mendongkrak jumlah pemakai media sosial. Para ibu, para muda mudi, remaja, utamanya wanita banyak menggunakan media sosial. Di sinilah peran wanita, secara tidak sengaja, terlibat dalam penggunaaan media sosial sebagai sarana komunikasi digital.

Lebih dari itu, dalam transaksi perdagangan pun sudah banyak wanita menggunakan transaksi digital. Dalam grup-grup kuliner, misalnya saja, juga didominasi para wanita. Misalnya saja, satu kuliner wilayah Wage, Sidoarjo. Di grup ini, banyak postingan dagangan dan komentar didominasi wanita. Pedagang kecil-kecilan itu didominasi wanita. Sebuah pekerjaan yang dikerjakan secara WFH.

Dalam konteks masa itu, RA Kartini saat negeri dalam penjahaan. Ini konteksnya berbeda dengan emansipasi dalam masyarakat digital saat ini. Pada masa penjajahan, wanita terkurung di dalam kehidupan rumah. Mereka belum bisa berkecimpung dalam aktivitas sebagaimana profesi-profesi yang dikerjakan dan didominasi kaum pria. Itulah, pada akhirnya, ditulis oleh RA Kartini dalam buku berjudul Habis Gelap Terbitlah Terang.

Pada dasarnya, buku tersebut berisi surat-surat RA Kartini yang membahas emansipasi wanita. Wanita menuntut adanya persamaan hak. Tentunya, saat itu persamaan dalam segala aspek. Mereka juga ingin pembebasan dari perbudaan. Dalam era penjajahan, konteksnya sangat historis. Saat itu, rakyat masih dalam perbudaan. Wanita sangat terbatas aktivitas keprofesiannya.

Namun, jika dibandingkan dengan saat ini, justru terjadi disrupsi emansipasi wanita. Kita sering tereskpos berita-berita hoaks. Banyaknya iklan-iklan yang senonoh muatan orang dewasa campur-aduk dengan anak anak usia bimbingan orang tua.

Ini sebuah tantangan bagi para wanita juga. Bagaimana semua para ibu di rumah mampu menangkal berbagai informasi yang sangat dahsyat. Utamanya, peran mereka mengawasi putra purinya. Di sinilah, disrupsi masyarakat digital dan peran para ibu di rumah. Mampukah semua para ibu memenuhi perannya ? (*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here