
Sebuah refleksi pasca kontroversi perkara pengiriman siswa ke barak militer. Ini merupakan refleksi nilai dan kepribadian bangsa, sekaligus sebagai renungan para pendidik dan masyarakat umum.
Pendidikan adalah proses kemanusiaan yang esensial. Ki Hadjar Dewantara, Bapak Pendidikan Nasional Indonesia, menegaskan bahwa pendidikan bertujuan untuk “menuntun segala kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak. Segala kekuatan kodrat Ini bertujuan agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya.” Dalam pengertian ini, pendidikan bukan sekadar proses akademik, tetapi perjalanan panjang membentuk kepribadian yang utuh dan beradab.
Sebagai bangsa yang berpijak pada Pancasila, sistem pendidikan Indonesia semestinya menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Sila keduaKemanusiaan yang adil dan beradabmenjadi pondasi moral dalam memperlakukan peserta didik, terutama mereka yang dianggap bermasalah. Pendidikan harus menjadi ruang pembinaan, bukan pemaksaan. Di sinilah pentingnya menjaga bahasa dan istilah yang digunakan dalam lingkungan pendidikan.
Belakangan ini muncul wacana kontroversial mengenai penggunaan istilah barak sebagai tempat pembinaan bagi siswa yang dinilai nakal atau tidak bisa dibina di sekolah umum. Istilah ini memunculkan kekhawatiran karena identik dengan pendekatan militeristik yang kaku dan keras, yang sangat bertolak belakang dengan filosofi pendidikan nasional.
Prof. Darmaningtyas, seorang pemerhati pendidikan dari Taman Siswa, menekankan bahwa pendidikan tidak bisa disamakan dengan penertiban. Anak-anak bukan objek yang dibentuk semata, tetapi subjek yang harus dituntun dengan cinta dan kebijaksanaan. Maka ketika siswa bermasalah langsung diasosiasikan dengan hukuman dan pemisahan ke “barak”, kita justru kehilangan esensi pendidikan itu sendiri.
Penggunaan istilah barak juga mencerminkan kemunduran dalam pemahaman kita akan kepribadian bangsa Indonesia. Dalam budaya kita, tutur kata merupakan cermin dari adab dan watak. Bung Hatta pernah mengatakan, Adab adalah lebih tinggi daripada ilmu. Maka, menyematkan istilah kasar, keras, dan berkonotasi militeristik dalam dunia pendidikan menunjukkan kurangnya kepekaan terhadap nilai-nilai luhur kebangsaan.
Psikolog pendidikan, Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono (alm), pernah mengingatkan bahwa remaja yang menunjukkan perilaku menyimpang sesungguhnya sedang mengalami kebingungan identitas dan membutuhkan bimbingan, bukan sanksi represif. Mereka adalah individu yang butuh dipahami, bukan dimusuhi, ujarnya yang saat saat beliau masih aktif berkarya, dalam salah satu kuliahnya di Universitas Indonesia.
Jika pendidikan diarahkan pada model disiplin ala militer, maka kita sedang membentuk ketundukan, bukan kesadaran. Padahal seperti dikatakan Paulo Freire, tokoh pendidikan asal Brasil, Pendidikan sejati adalah proses pembebasan manusia dari belenggu ketidaktahuan dan ketidakadilan. Maka pendidikan tidak boleh menciptakan ketakutan, apalagi membungkam keberagaman ekspresi remaja yang sedang berkembang.
Alih-alih menciptakan “barak”, yang kita butuhkan adalah penguatan sistem pendidikan yang mendukung pemulihan perilaku. Pendidik seperti Prof. Arief Rachman yang selalu menekankan pentingnya pendidikan karakter, bukan sekadar hukuman. “Anak-anak tidak akan berubah dengan tekanan, tetapi dengan keteladanan dan komunikasi yang penuh empati,” ujarnya dalam banyak forum pendidikan nasional.
Kita memerlukan strategi yang lebih manusiawi: memperkuat layanan konseling di sekolah, melibatkan keluarga dalam proses pembinaan, dan menciptakan lingkungan belajar yang aman serta mendukung. Pendekatan restoratifyang menekankan pemulihan hubungan dan tanggung jawab moraltelah terbukti lebih efektif dibanding pendekatan hukuman.
Oleh karena itu, mari kita lebih berhati-hati dalam menggunakan istilah di dunia pendidikan. Kata-kata bukan sekadar ucapan, tetapi membentuk cara pandang dan tindakan. Menyebut siswa bermasalah sebagai kandidat “barak” adalah pengingkaran terhadap nilai-nilai Pancasila, kepribadian bangsa, dan esensi pendidikan itu sendiri.
Tidak ada anak yang sepenuhnya nakal; yang ada adalah anak-anak yang belum mendapatkan cara pendekatan yang tepat. Maka tugas kita bukan memisahkan, tetapi menyatukan kembali mereka dalam pelukan pendidikan yang mendidik, membina, dan memanusiakan. *
*. Dr. Djuwari : Pemerhati Pendidikan, Dosen Bahasa Inggris FKIP, Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya, Sering Menjadi pembicara Kunci pada konferensi Internasional tentang Pendidikan dan Pedagogi