Sejak diberitakan media hasil survei Indo Barometer, terkait nuansa rakyat merindukan orde baru pikiran publik jadi tergelitik. Dinyatakan dengan indikator suara tertinggi pada Presiden Soeharto dibandingkan semua presiden yang pernah mempimpin Indonesia. Dari sisi khusus tentang pendidikan, maka perlu direnungkan ada apa di balik semua itu.
Pendidikan sejak awal sudah dijadikan titik sentral strategi nasional mengubah pola pikir dan perilaku bangsa di suatu negeri. Itu sebabnya, di dalam UUD 1945, Pasal 31, pendidikan nasional dicantumkan di dalamnya. Lebih jelas, dalam UU no 20 tahun 2003, tentang sitem pendidikan nasional (Sisdiknas), pendidikan juga dijabarkan lebih rinci.
Lantas bagaimana jika dikaitkan dengan rakyat yang haus dengan pendidikan itu dengan nostalgia kepemimpinan? Sejak diberitakan hasil surevi Indo Barometer, bahwa presiden Indonesia yang paling disukai adalah presiden Soeharto, ada kegelisahan rakyat kecil. Nagka untuk almarhum Soeharto dalam survei, bahkan mengalahkan angkanya dengan presiden lainnya termasuk Bambang Soesilo Yudoyono (SBY) sampai pada Soekarno.
Dalam hasil survei itu, dari 1.200 responden, 36,54 persen di seluruh Indonesia memilih presiden Soehatro. Setelah itu baru posisi SBY, Soekarno, Megawati, B.J. Habibie, dan Gus Dur (Republika/15/52011). Meski di dalam surevi itu belum dilaporkan juga oleh media dan lembaga survei itu, misalnya lokasi atau daerah mana jumlah 1.200 responden tersebut berada.
Namun, tanpa mendiskretikan hasil survei, ini bisa saja diakibatkan adanya krisis idola kepemimpinan nasional. Selama ini, khususnya dalam dunia pendidikan, tidak ada buku yang berisikan pemahaman tentang kepemimpinan yang diidolakan. Suatu kepemimpinan nasional sebagai figur nasional. Beda dengan zaman orde baru, ada istilah Bapak Pembangunan.
Istilah Bapak Pembangunan waktu itu merujuk sosok Presiden Soeharto. Itu sebabnya, sosok Soeharto, meski dikenal dictator, masih melekat istilah Bapak Pembangunan. Apa yang dibangun saat itu ada perencanaan yang disebut dengan Repelita (Rencana Pembangunan Lima Tahun). Setiap tahapnya berisi rencana tahapan yang dikerjakan secara bersama oleh kabinetnya. Meskipun saat itu belum ada istilah cabinet bersatu. Waktu itu yang dikenal adalah kabinet pembangunan.
Contoh khusus tentang pendidikan, dulu ada banyak sekolah dasar bernama SD Inpres. Sekolah-sekolah tersebut dibina dan diperhatikan dengan baik, meskipun tidak seunggul sekolah-sekolah saat ini. Namun, istilah cabinet pembangunan membawa predikat sosok Soeharti sebgagai Bapak Pembangunan.
Yang jelas, sosok Soeharto—secara pribadi– sampai sekarang masih dikenal smiling president. Dia memiliki wajah senyum dan arif. Yang menjadi kejam justru orang-orang di sekelilingnya. Mereka-mereka yang dekat dengan Soeharto-lah yang sekarang merasakan nikmatnya. Antek-antek Soeharto lah yang membuat negeri zaman itu sampai saat ini karut marut. Mereka-mereka lah yang hidup nikmat saat ini. Mereka-mereka itu adalah yang memiliki jabatan mulai dari jabatan tinggi di pusat sampai pada jabatan terendah di kelurahan atau kepala desa saat itu.
Lantas, bagaimana jika dikaitkan dengan pendidikan saat ini? Terlepas dari pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini dibanding zaman orde baru, jelas masyarakat setuju kalau zaman orde baru tidak mengenal istilah sekolah mahal. Bebeda dengan zaman sekarang, sejak digulirkan Badan Hukum Pendidikan (BHP), marak teriakan rakyat pada mahalnya pendidikan. Ini khususnya pendidikan tinggi negeri (PTN).
Zaman dahulu, tidak sedikit anak keluarga tidak mampu bisa sekolah atau kuliah dengan murah. Zaman dulu tidak sedikit sekolah yang justru memberikan kesempatan pendidikan. Namun, sekarang rakyat sulit menggapai pendidikan dengan murah. Dari sosok kepemimpinan dan retorika pendidikan, maka bisa saja surevi Indo Barometer jadi barometer untuk memprediksi adanya krisis kepemimpinan nasional.
Susahnya menyekolahkan anak masih dibebani dengan tingginya harga-harga kebutuhan pokok sehari-hari. Lebih dari itu, zaman Soeharto, harga bahan pangan murah, sekolah juga murah. Ini merupakan nuansa kehidupan rakyat Indonesia yang mayoritas. Mereka saat ini sangat merindukan pendidikan dan harga bahan pokok murah. Bisa jadi, jika ukuran yang dipakai adalah rakyat seperti itu, angka survei itu benar.
Pendidikan dan harga bahan pokok murah merupakan tingkatan dasar kebutuhan rakyat. Jadi nostalgia kepemimpinan orde baru itu akibat fenomena di antaranya tinngginya biaya pendidikan rakyat dan harga-harga bahan pokok untuk rakyat juga. Khusus rakyat kelas menengah ke atas atau mereka yang memiliki kebutuhan lebih tinggi, survei itu tidak representatif. Lebih lagi jika dikaitkan dengan pelanggaran hak asasi manusia (HAM), survei itu akan nihil hasilnya.
Namun, sekali lagi, mayoritas rakyat Indonesia adalah rakyat yang masih pada tataran kebutuhan dasar yang paling bawah. Itu sebabnya, survei berlaku bagi rakyat kecil mayoritas akan kerinduan zaman orde baru. Untuk mengubah hasil survei dari persepsi rakyat kecil bisa dengan treatment, misalnya peningkatan kesejahteraan dan penyediaan pendidikan terjangkau serta harga-harga bahan pokok terjangkau pula. (*)