
Tulisan ini juga hasil pengalaman pribadi sebagai klien sebanyak 4 kali dengan para pemasar yang berbeda. Semua pemasar adalah cewek cewek cantik yang selalu mengaku masih single. Bahkan tiga diantaranya memberikan kartu identitasnya. Yang lebih ironis, adalah foto foto pribadi yang syur.
Dari semua yang penulis kenal, mereka berperilaku sama. Ini bisa diduga sementara akan adanya training tersendiri atau perkumpulan di suatu tempat, kemudian mereka debriefing. Ini karena perilakunya dalam taktik hubungan pemasaran dengan klien semuanya sama.
Fenomena pemasaran melalui media social sejenis ini makin marak. Di balik wajah bisnis digital yang modern, terselip praktik-praktik yang memanfaatkan sisi psikologis manusia. Dalam hubungan virtual ini, strategi yang digunakan tidak hanya berupa promosi produk atau layanan, tetapi juga permainan citra diri yang memikatterutama melalui foto syur.
Semua pemasar berparas cantik untuk menarik simpati dan rasa percaya. Mereka sering mengirimkan foto-foto seksi kepada calon klien. Kadang hanya menunjukkan lekuk tubuh, kadang menampilkan bagian pribadi untuk menggoda. Bahkan, ada yang memberanikan diri memotret diri di kamar pribadinya dalam posisi tubuh tampak seksi.
Padahal, dalam konteks psikologis, kamar pribadi adalah ruang privat yang sangat personal. Ketika ruang itu ditampilkan kepada orang lain, terjadi apa yang disebut displacement of privacy, yaitu perpindahan batas privasi ke ruang publik demi tujuan tertentudalam hal ini, pemasaran.
Dari sisi psikologi sosial, fenomena ini dapat dianalisis melalui teori impression management yang dikemukakan Erving Goffman. Pemasar perempuan tadi berusaha mengelola kesan di hadapan calon klien. Dengan menunjukkan foto seksi, ia menciptakan citra sebagai sosok yang menarik, penuh keintiman, dan bisa dipercaya. Klien yang melihat bukan hanya menilai produk yang dijual, melainkan juga terikat secara emosional dengan sosok penjual. Keintiman semu ini menimbulkan rasa dekat, sehingga transaksi lebih mudah dibujuk lagi.
Dalam prinsip reciprocity principle, maka ketika pemasar memberikan sesuatu yang dianggap bernilai, missal foto pribadi berkesan intimklien merasa seolah berhutang kepercayaan. Akibatnya, klien terdorong untuk membalas dengan membayar lagi untuk transaksi yang lebih tinggi nilainya atau setidaknya menjaga komunikasi.
Komunikasi ketika putus, bisa kembai lahi. Ini terjadi berulang-ulang. Inilah yang disebut dalam psikologi suatu reciprocity principle. Bekerjanya sangat halu, dalam pikiran bawah sadar, sehingga membuat klien merasa ikatan psikologis yang sulit dijelaskan.
Namun, psikologi perkembangan, tindakan ini berbahaya. Kamar pribadi, misalnya, adalah simbol identitas diri dan kenyamanan psikologis. Ketika dipublikasikan melalui foto, batas identitas menjadi kabur.
Individu yang melakukannya mungkin kehilangan kontrol atas ruang privatnya, dan pada jangka panjang dapat menimbulkan rasa terasing (alienation) serta penyesalan.Fenomena foto syur dalam online trading berbentuk manipulasi emosional.
Klien yang terpapar foto tersebut bisa mengalami emotional attachment semu, sehingga keputusan membeli tidak lagi rasional. Keputusan untuk mebayar lagi transaksi selalu irasional. Gak masuk akal. Dalam Bahasa Jawa, bisa nggliyeng kepalanya.
Di sisi lain, pemasar sendiri menghadapi risiko besar, yaitu kehilangan kendali atas konten pribadi. Foto yang sekali dibagikan melalui WhatsApp dapat dengan mudah tersebar, jika kliennya bisa terjadi marah. Dalam teori cognitive dissonance (Festinger), pemasar yang sadar bahwa tindakannya melanggar nilai pribadi (misalnya norma kesopanan atau harga diri) akan mengalami ketegangan psikologis.
Karena pada saat memberikan foto-foto syur terwsebut, mereka selalu mengatakan hanya untuk klien yang dipercaya. Padahal, semua semu.Akhirnya, klien merasa percaya.. Pemasar kadang tindakannya tidak konsisten. Untuk mengurangi ketegangan itu, ia mungkin berusaha meyakinkan diri bahwa tindakannya wajar demi keberhasilan bisnis.
Namun, jika konflik batin ini dibiarkan, dampaknya bisa berujung pada stres, kecemasan, hingga depresi.Di era digital, pemasaran hendaknya ada transparansi pada jaminan klien tidak dirugikan. Bukan sekadar eksploitasi tubuh atau privasi.
Menggunakan foto syur sebagai strategi bisnis bukan hanya merugikan individu, tetapi juga merusak citra industri online trading itu sendiri. Masyarakat bisa memandang bisnis digital identik dengan penipuan, rayuan, atau eksploitasi.Aspek etika dan kesadaran diri menjadi kunci.
Bagi pemasar, membangun kepercayaan bisa dilakukan melalui profesionalisme, bukti kualitas, dan testimoni yang nyata. Bagi klien, penting untuk selalu kritis dan tidak mudah terbawa suasana emosional yang sengaja dibangun.Fenomena di atas mencerminkan pergeseran nilai dalam interaksi digital.
Di satu sisi, ada upaya kreatif untuk menarik klien. Di sisi lain, terdapat risiko besar dari sisi psikologis, sosial, maupun etika. Kita diingatkan bahwa dunia maya bukanlah ruang tanpa konsekuensi. Privasi berupa foto bagian tubuh yang privacy tetaplah sesuatu yang mahal. Tetapi, jika dijadikan alat dagang, nilainya justru bisa runtuh. ,(*)
*Djuwari : President of International Association of Scholarly Publishers, editors, and Reviewers (IASPER)