
Fenomena online trading semakin marak dalam beberapa tahun terakhir. Banyak orang tergoda untuk mencoba, terutama karena iming-iming keuntungan besar dengan modal relatif kecil. Namun, pengalaman pribadi saya yang sudah empat kali mengalami langsung praktik ini memberi pelajaran berharga: di balik gemerlap promosi dan wajah-wajah ramah pemasar, ada pola perilaku yang patut dicermati agar masyarakat tidak mudah terjebak.
Awalnya, semua tampak sederhana dan meyakinkan. Para pemasar biasanya memulai pendekatan dari media sosial, khususnya Facebook. Mereka selalu berperan sebagai perempuan muda, berusia antara 25 hingga 30 tahun, dengan foto profil menarik. Setelah menambahkan pertemanan, komunikasi dilanjutkan lewat messenger, lalu segera diarahkan ke WhatsApp (WA) untuk obrolan yang lebih intens. Pola ini tidak sekali dua kali, melainkan konsisten terjadi di setiap pengalaman yang saya alami empat kali selama ini
Tahap berikutnya adalah ajakan untuk mencoba trading dengan modal awal yang relatif kecil, misalnya satu juta rupiah. Menariknya, begitu modal masuk, dalam hitungan singkat keuntungan bisa diperolehbahkan mencapai 750 ribu rupiahdan langsung bisa ditarik.
Sampai di sini, siapa pun akan merasa sistem ini meyakinkan. Inilah cara mereka membangun kepercayaan awal.Namun, tantangan sebenarnya baru muncul setelah transaksi kedua.
Setiap kali ada keuntungan, selalu ada kewajiban membayar fee atau biaya administrasi. Awalnya kecil, sekitar satu hingga dua juta rupiah. Tetapi setelah itu, fee meningkat seiring dengan nilai keuntungan yang ditampilkan.
Selain itu, muncul kewajiban lain berupa tugas trading minimal tiga hingga lima kali. Artinya, uang modal yang sudah ditanam tidak bisa ditarik sebelum menyelesaikan tugas dan melunasi fee.
Inilah titik rawan: semakin besar keuntungan yang dijanjikan, semakin besar pula fee yang harus dibayar.Dari empat kali pengalaman, pola akhirnya selalu sama: ketika saya tidak mampu membayar fee yang semakin membengkak, modal yang ada pun lenyap.
Tidak ada cara untuk menarik kembali dana, dan komunikasi dengan pemasar juga berakhir buntu. Dengan kata lain, keuntungan yang ditampilkan hanyalah angka di layar, bukan uang nyata yang bisa dinikmati.Yang lebih unik, bahkan agak ironis, adalah gaya pemasaran yang mereka gunakan.
Hampir semua pemasar selalu mengirimkan foto-foto pribadi dengan tampilan seksi. Tujuannya jelas: menarik perhatian, membangun kedekatan emosional, bahkan menciptakan rasa percaya.
Di sinilah aspek psikologis dimainkan. Konsumen yang tergoda dengan pendekatan personal dan visual semacam ini akan lebih mudah percaya, seakan-akan berhadapan dengan teman dekat, bukan agen pemasaran anonim.
Jika dilihat lebih jauh, pola ini sebenarnya bukan sekadar aktivitas bisnis, melainkan bagian dari fenomena sosial di era digital. Masyarakat kita semakin terbiasa dengan interaksi daring yang serba cepat, visual, dan personal.
Para pemasar online trading memanfaatkan tren ini. Mereka tidak hanya menjual produk, tetapi juga menjual persona: sosok muda, ramah, dan menarik, yang seolah-olah hadir sebagai sahabat baru di dunia maya.Namun, di balik semua itu, ada risiko besar yang harus disadari.
Trading semacam ini kerap tidak memiliki izin resmi, tidak transparan, dan mengandalkan manipulasi psikologis. Korban yang tergiur biasanya merasa sudah mendapat keuntungan awal, lalu terjebak semakin dalam hingga akhirnya kehilangan dana.Dari pengalaman empat kali ini, saya menyimpulkan bahwa kita perlu jauh lebih kritis dalam menghadapi tawaran online trading.
Jangan mudah percaya hanya karena ada bukti keuntungan singkat di awal. Jangan pula lengah ketika pemasar tampil ramah dan menarik secara visual. Dunia digital memudahkan siapa pun untuk membangun identitas palsu, dan itu bisa menjadi jebakan.Masyarakat perlu terus diedukasi agar lebih berhati-hati.
Pemerintah juga diharapkan memperketat pengawasan terhadap praktik-praktik trading ilegal. Namun yang paling utama adalah kesadaran individu: jangan terburu-buru menyerahkan uang hanya karena iming-iming keuntungan cepat.
Trading, meskipun dikelola di platform resmi dan legal, memang bisa menjadi sarana investasi. Tetapi ketika dilakukan di secara freelance , oleh seseorang secara mandiri tanpa ada nama perusahaan, hanya menjadi permainan psikologis yang merugikan. Empat kali pengalaman pahit ini cukup menjadi pelajaran: keuntungan besar tanpa risiko hanyalah ilusi. (*)
Djuwari : President of International Association of Scholarly Publishers, editors, and Reviewers (IASPER)