
Ramainya media sosial terkait hujat menghujat dan kritik mengkritik, dapat dijadikan fenomena dalam masyarakat digital yang belum siap.
Di balik itu semua, ada baiknya bagi calon pemimpin atau yang sudah menjadi pemimpin agar dapat merefelsikan diri untuk tetap menjaga kepercayaan publik.
Dalam tradisi retorika klasik, Aristoteles mengenalkan tiga unsur utama dalam membujuk dan memengaruhi khalayak: ethos, pathos, dan logos.
Ketiganya tidak sekadar alat retorika, melainkan juga prinsip pokok dalam membentuk citra dan kepercayaan terhadap seorang figur publik.
Ethos merujuk pada karakter atau kredibilitas pembicara. Pathos berkaitan dengan emosi dan kemampuan menyentuh perasaan audiens.
Sementara logos menekankan pada logika, data, dan argumentasi rasional. Ketiganya menjadi pilar penting bagi figur publik dalam menjaga integritas, membangun simpati, dan meneguhkan rasionalitas dalam menyampaikan pesan kepada masyarakat.
Bagaimanakah terkait dengan figure public dan kredibilitasnya di sebuah negara, mulai dari kepala daerah di pemerintahan daerah sampai pada Preuiden di tingkat nasional? Figur publik, baik itu politisi, pejabat negara, artis, maupun pemuka agama, memiliki posisi strategis yang menuntut integritas tinggi. Ethos sebagai syarat pertama menuntut figur publik memiliki reputasi yang dapat dipercaya.
Ini meliputi rekam jejak, konsistensi perilaku, dan komitmen terhadap nilai-nilai publik. Seorang tokoh publik yang sering terlibat dalam skandal atau berkata tidak sesuai dengan tindakannya akan kehilangan ethos-nya.Pathos, di sisi lain, menjadi kekuatan emosional yang menghubungkan figur publik dengan rakyat.
Kemampuan untuk menunjukkan empati. Figur public harus mempu berbicara dengan hati, dan menyampaikan pesan yang menyentuh kebutuhan emosional masyarakat sangat penting. Seperti dikatakan Maya Angelou,
“People will forget what you said, people will forget what you did, but people will never forget how you made them feel.” Tanpa pathos, pesan dari figur publik hanya akan terasa hambar dan tidak menyentuh.
Sementara itu, logos adalah kemampuan figur publik dalam menyampaikan gagasan secara logis, argumentatif, dan berbasis data. Di era digital seperti sekarang, publik semakin kritis dan rasional.
Oleh karena itu, figur publik dituntut menyampaikan pendapat atau kebijakan dengan argumentasi yang kuat dan bukti yang mendukung. Penjelasan yang asal-asalan akan meruntuhkan kredibilitas mereka.
Untuk membangun kepercayaan public, figure public diharapkan juga mampiu membengun kepercayaan public. Kepercayaan (trust) adalah modal utama seorang figur publik.
Tanpa kepercayaan, segala pesan dan tindakan mereka akan selalu diragukan. Ada beberapa langkah strategis yang harus dilakukan agar figur publik memperoleh dan mempertahankan kepercayaan rakyat:Konsistensi antara kata dan tindakan sangat diperlukan. Integritas bukan sekadar berkata benar, tetapi melakukan yang benar.
Ketidaksesuaian antara janji dan realisasi akan cepat memudarkan kepercayaan masyarakat. Selain itu, mereka juga dituntut membuka keterbukaan informasi.
Figur publik yang transparan, terutama dalam kebijakan dan penggunaan kekuasaan, akan lebih mudah dipercaya. Keterbukaan melahirkan rasa aman bagi publik.Komunikasi empatik dan rasional juga merupakan aspek penting.
Menggabungkan pathos dan logos saat menyampaikan kebijakan atau keputusan akan menciptakan kedekatan emosional. Kemampuan ini sekaligus memuaskan aspek logika publik.Mereka harus siap menerima kritik.
Sikap defensif dan anti-kritik justru membuat publik menjauh. Sebaliknya, keterbukaan terhadap masukan memperkuat citra figur publik sebagai sosok pembelajar dan rendah hati. Rekam jejak yang jelas dan bersih tetap dipertahankan.
Reputasi dibangun bertahun-tahun, tetapi bisa runtuh seketika. Oleh karena itu, menjaga ethos melalui perilaku yang etis dan bertanggung jawab adalah kunci utama.Akhirnya, figur publik adalah cermin nilai-nilai masyarakat.
Mereka tidak hanya berfungsi sebagai penyampai pesan, tetapi juga sebagai panutan moral. Maka, untuk menjadi figur publik yang dicintai dan dipercaya, menguasai ethos, pathos, dan logos bukan sekadar pilihan, melainkan keharusan.
Oleh: Dr. Drs. Djuwari, M.Hum, Penulis adalah Dosen Bahasa Inggris Prodi Pendidikn Bahasa Inggris, FKIP, Universitas Nahdlatul Ulama Surabaya; President of International Association of Scholarly Publishers, Editors, and Reviewers (IASPER).