Pendidikan dan Kejujuran

0
2314


Dengan kasus Ny. Siami, saya terpaksa mengulang kutipan Lord Acton, yang sudah saya tulisa di berbagai media terkait dengan kejujuran. Inilah kutipan tersebut. “Power tends to corrupt, and absolute power corrupts absolutely. Great men are almost always bad men.”

Sebenarnya, kasus kejujuran sudah menjadi masalah yang sangat rumit. Ini bukan hanya dalam lingkup pendidikan saja. Kasus kejujuran sudah mendarahdaging secara terselubung di sudut-sudut kehidupan di negeri ini. Itu sebabnya, penyelesaian untuk mendidik manusia jujur memerlukan strategi dari segala arah.

Intinya adalah sekolah memang salah satu jalan mengubah perilaku dengan kerangka akademik. Kerangka ini dirancang dalam bentuk materi pelajaran yang disajikan dalam kurikulum. Kemudian, materi-materi itulah kemudian diterjemahkan dalam bentuk materi ajar. Namun, sikap (attitude) dan ajaran (learning materials) merupakan dua sisi yang berbeda tetapi saling melengkapi.

Attitude berkaitan dengan sikap yang di dalamnya masuk dalam ranah afektif. Adapun learning materials dalam entitasnya masuk dalam ranah kognitif dan paling nyata psikomotor. Dari  sinilah sebenarnya diperlukan singkronisasi di dalam kehidupan sekolah di mana saja. Jadi, sangat kompleks bin ruwet jika pengambil kebijakan tidak memandang sistem pendidikan secara keseluruhan untuk menumbuhkan kejujuran.

Dalam artian yang lebih retorik, maka penyembuhan penyakit ketidakjujuran harus dilakukan secara lintas sektoral. Inilah masalah yang berskala multidimensi dalam kehidupan. Kasus SDN Gadel di Surabaya itu bias diprediksi sebagai ujung gunung es. Budaya tidak jujur yang sudah kronis memerlukan kebijakan lintas dimensi.

Sekolah dengan sistem pendidikan nasional (sisdiknas) sudah diatur dalam UU no 20 tahun 2003. Di situ jabarannya masih memerlukan kajian yang serius agar tidak hanya diketahui oleh pihak sekolah saja. Masyarakat dan orang tua khususnya sangat memerlukan pemahaman tentang kandungan UU no 20 tahun 2003 itu. Jika tidak, maka singkronisasi antara ranah afektif dan kognitif tidak akan terbentuk.

Dengan budaya tidak jujur dan tidak adanya singkronisasi antara afektif dan kognitif itulah, kutipan dari Lord Acton di atas sangat mengena. Semua sudah memiliki karakter tidak jujur. Ketidakjujuran itu kemudian menjadi budaya. Karena sudah membudaya, siapa pun yang tidak mengikuti perilaku tidak jujur akhirnya “terpental” dan dikucilkan. Efek paling parah adalah diusir dari massa yang bercorak budaya tidak jujur.

Di situlah, kutipan Lord Acton, secara tegas mengatakan bahwa” Great men are almost always bad men.” Ternyata ini benar. Orang baik dan jujur dianggap orang jelek (bad men). Sebaliknya orang yang tidak jujur karena jumlahnya mendominasi berubah menjadi “orang baik”. Jangan heran jika korupsi dipandang sekadar cerita menarik dari segi kehidupan. Karena menarik, maka jika tidak ada korupsi seakan dunia ini adalah bad men.

Lebih celaka lagi, jika yang berkuasa itu lebih banyak yang bad men. Inilah yang sebenarnya kasus ketidakjujuran itu memerlukan pembahasan dan penyelesaian lintas dimensi. Fenomena negeri yang dilanda mega korupsi bisa diasumsikan bahwa negeri itu cenderung dipimpin oleh kekuasaan absolut. Keabsolutanya justru didominasi ketidakjujuran.

Kekuasan absolut (apalagi jika banyak yang tidak jujur) bisa saja dalam lingkup lebih kecil, misalnya sekolah. Sekolah terdiri dari unsur anak didik, orang tua dan masyarakat. Jika semua sudah masuk berbudaya tidak jujur, maka di situlah ada dalil bahwa orang baik akan dijadikan orang yang paling buruk.

Tidak salah jika media cetak ada yang memberi judul kasus SDN Gadel “Orang Jujur Malah Ajur”. Kebenaran Lord Acton berabad-abad silam menjilma di negri kita. Negeri yang sedang belajar demokrasi dalam kurun waktu reformasi ini sedang diuji. Namun, pendidikan tetap menjadi sentral untuk membentuk perilaku tidak hanya materi kognitif tetapi juga disimpulkan dalam sikap atau afektif.

Itu sebabanya, sistem pendidikan memerlukan penjilmaan dalam materi nyata berupa sikap jujur dan pengetahuan materi pembelajaran. Dua dimensi ini ditunjang dengan kebersamaan unsur masyarakat dan pemerintah untuk menggalakkan sikap kejujuran. Kekuasaan (power) dan kejujuran perlu ditanamkan tidak hanya pada siswa sekolah dan guru. Kejujuran perlu ditanamkan pada pembuat kebijakan (power) juga.

Semoga lintas dimensi kehidupan bisa bersama-sama menjunjung kejujuran di mana saja dan kapan saja. Masyarakat atau orang tua bisa sadar bahwa jika putera-puterinya tidak jujur, mereka akan membebani orang tua mereka sndiri kelak jika sudah menjadi orang dewasa. Jadi pendidikan dan kejujuran senantiasa ditegakkan di mana saja dengan singkronisasi materi ajar dan sikap. (*)

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here