Senin 11 Juli 2011 ini merupakan hari pertama sekolah khususnya SD, SMP, dan SMA. Dalam istilah pendidikan, waktu seperti ini dinamakan tahun ajaran baru. Seperti biasanya, tahun ajaran baru ditandai dengan seragam baru, buku baru, dan suasana baru. Ini mencakup juga kondisi keluarga yang baru, terkait dengan pengeluaran biaya hidup keluarga. Namun, akan terasa lagi beban pengeluaran keluarga jika terkait dengan pendidikan tinggi.
Harian Kompas (Senin 11/7/2011) menyajikan berita terkait mahalnya biaya pendidikan di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Dinyatakan, bahwa 94 persen mahasiswa dari keluarga mampu. Lebih jauh, khusus jurusan favorit, biayanya sangat mencekik. Itu sebabnya, pendidikan saat ini seperti dijadikan secara sengaja untuk komersialisai. Padahal itu perguruan tinggi negeri (PTN).
Sejak didengungkannya reformasi dan bergulat sampai detik ini, sumber daya manusia (SDM) sebagai kunci utama kemajuan bangsa harus diproses sangat mahal. Terbatas untuk orang kaya. Jika ini diteruskan, maka hanya orang-orang kaya saja yang memiliki hak lebih besar pada kesempatan memperoleh pendidikan bagi rakyat. Bukankah ini sama dengan membodohkan rakyat agar mereka tidak cerdas?
Kecerdasan untuk bangsa sudah ditorehkan di dalam pembukaan Undang-Undang Dasar (UUD 1945). Bahwa the founding fathers negeri ini sudah bertekad dan berkomitmen ingin mencerdaskan bangsa. Jadi intinya, mendidik rakyat itu sudah menjadi komitmen dan merasuk ke dalam urat nadi bangsa sebagai komitmen yang ingin merdeka.
Kemerdekaan itu identik dengan keinginan menjadi lebih baik. Jadi kemerdekaan itu bukan sekadar ingin lepas dari penjajah. Namun, ingin lebih jauh memakmurkan dan mensejaterahkan umat atau rakyat. Inilah salah satu niat the founding fathers pada saat memekikkan kata-kata “merdeka”. Mereka rela mengorbankan nyawanya dengan pekikan “merdeka atau mati”.
Dengan demikian, pendiri negri dahulu sudah memberikan titipan kepada siapapun yang memerintah dan menguasai negri ini. Pemerintahan dan kekuasaannya dititipi oleh faunding fathers untuk mencerdaskan bangsa. Jika bangsa ini tidak dididik (baca: dicerdaskan) sama halnya kita mengkhianati pendiri negeri ini. Inilah yang harus dihindari sebagai negarawan atau pemimpin bangsa ini.
Pendidikan yang kian mahal dan hanya terjangkau oleh kaum kaya itu berarti tujuan pembangunan sudah melenceng dari apa yang sudah ditorehkan di dalam pembukaan UUD 1945. Itu sebabnya, kini pemerintah harus bisa meluruskan cita-cita pendiri negeri ini untuk mencerdaskan bangsanya. Jika ini tidak diluruskan, maka hanya kaum kaya saja yang bisa memperoleh kesempatan pendidikan yang lebih baik.
Zaman reformasi ini masih banyak yang belum dikerjakan terkait dengan pendidikan. Namun, setelah media melaporkan tentang mahalnya pendidikan di PTN dan hanya dimonopoli kaum kaya, maka ini merupakan sebuah kejanggalan jika dikaitkan dengan keinginan pendahulu republic ini. Bangsa yang berkembang dan merdeka di wilayah negeri ini sangat merindukan pendidikan terjangkau. Sebuah standar biaya pendidikan untuk rakyat sebagian besar.
Dengan kata lain, biaya pendidikan tidak hanya dikuasai oleh kaum kaya. Kondisi seperti ini sama halnya dengan membodohkan rakyat miskin tetapi mencerdaskan kaum kaya. Lebih tragis lagi jika kaum kaya senantiasa mendominasi tidak hanya hak kecerdasan tetapi ranah lain akibat tidak berdayanya kaum miskin.
Untuk itu, pemerintah bisa mulai meniti lagi atau manapak tilas tujuan kemerdekaan yang terkait dengan mencerdaskan bangsa (pendidikan). Kedua, dibuka lagi lembaran tentang tujuan pendidikan nasional dan jabarannya. Visi dan misi tujuan nasional harus terkait dengan tujuan pendirian negara yang ditulis di dalam pembukaan UUD 1945.
Dari situlah, maka semua perangkat dan birokrasi pemerintahan mulai dari presiden dan menteri pendidikan serta jajarannya bisa berkiblat UUD 1945. Kemudian, nawaitunya seperti yang ada di dalam pembukaan UUD 1945. Pada akhirnya, pelaksanaan di lapangan perlu juga disingkronkan dengan visi dan misi serta tujuan pendidikan nasional berdasarkan UUD 1945 dan Pancasila. (*)